Pelajaran yang Bisa Diambil dari Pengalaman Ghosting

I didn’t realize it at first. But I have actually gone through ghosting twice. The first one wasn’t really mattered that much to me. Because it was just a short conversation and no feeling involved, so I could quickly get rid of the thought of me being ghosted. I didn’t even know back then that I was being ghosted.

DSCF4599

Aku baru tau ada kata-kata ghosted and ghosting di awal tahun. Kalau aku lihat di Youtube, sebetulnya sudah banyak yang buat video tentang pengalaman ini dari satu tahun sebelumnya. Tapi sekarang term ini kembali jadi tren karena memang semakin banyak orang yang melakukan hal tersebut kepada orang lain (ghosting) dan juga orang yang mengalami hal tersebut (being ghosted). Di google pun sudah banyak banget artikel yang membahas tentang pengalaman ini. Is that a sign that our society is decreasing in terms of having the respect towards other people? Well, who knows.

Jadi, apa sebetulnya ghosted and ghosting itu?

Ghosting is having someone that you believe cares about you, whether it be a friend or someone you are dating, disappear from contact without any explanation at all. No phone call or email, not even a text.

www.psychologytoday.com

quote-1

So, what is actually that lead me to find everything about all of these ghosted stories?

Jadi sebetulnya cerita ini udah aku ketik dari awal tahun. Tapi aku nggak yakin buat posting ini. Karena ini cukup personal dan aku belum yakin pada saat itu if moving on was the best choice. Tapi aku juga teringat sama postingan aku yang sebelumnya tentang relationship, yang satu tentang break up and tentang move one. Karena responnya cukup bagus, makanya aku pikir yaudah lah posting aja yang soal ghosting ini. Aku nggak pernah tau, siapa yang akan butuh baca postingan ini nantinya. Tapi aku berharap yang aku tulis di sini, bisa somehow membantu kalian yang mungkin sedang menghadapi masa sulit dan nggak mengenakkan ini.

DSCF4585

So, last year, I experienced the second ghosting, which leads me about knowing there’s such thing as ‘ghosting’ and made me look for articles talking about this. The second one was because it was something that I never ever ever ever think would happen to me, to any relationship in general. It hit me hard. At first, I thought maybe the disappearing would only last for 2-3 days. But I was wrong. To be honest, it was a mixed feeling of worried, sad, angry, and confused. I didn’t know if he’s actually fine or hurt and lying in a hospital bed. I didn’t know if he underwent complicated stuff, which took up most of his time. I didn’t know if I did or said something that made him mad. I didn’t know if he was just bored and didn’t want to continue the conversation with me anymore. I didn’t know if maybe he actually had or found or being introduced to someone new. I didn’t know which one was the reason behind this. I didn’t know how to react to this, other than cry and be vulnerable in my pray.

Two sides of the story

There’s always a good thing in everything. Karena dighostingin, aku jadi banyak baca-baca artikel yang berkaitan dengan sama hal itu haha. Dari info yang aku dapat,  sebetulnya ghosting ini bisa berefek kedua belah pihak, yang ninggalin maupun yang ditinggalin. Kita bahas satu-satu yaa.

Kalau dari sisi yang ditinggalkan, mungkin sudah bisa dilihat dari ceritaku di atas. Dari awalnya aku khawatir dengan keadaannya dia, karena aku ngga tau apakah dia sehat atau ngga, atau jangan-jangan lagi ada masalah yang datang. Tapi karena nggak dapat kabar yang jelas, padahal dia masih terlihat online di Whatsappnya, jadi pikiranku pun mulai berubah. Jadi mempertanyakan sebenernya ada apa? Kita ini kenapa? Kenapa komunikasinya jadi begini? Tapi semua pertanyaan itu nggak bisa tersampaikan juga sih. Jadi nanya sendiri dan mikir jawabannya sendiri, cedih hehe.

Ghosting gives you no cue for how to react. It creates the ultimate scenario of ambiguity. Should you be worried? Should you be upset? Maybe they are just a little busy and will be calling you at any moment. You don’t know how to react because you don’t really know what has happened… Social cues allow us to regulate our own behavior accordingly, but ghosting deprives you of these usual cues and can create a sense of emotional dysregulation where you feel out of control.

www.psychologytoday.com

Jujur saat itu aku jadi questioning myself, aku ngelakuin apa sih kok bisa sampe kayak gini and I didn’t even see that coming. Aku jadi khawatir berlebihan karena berusaha cari tau dan dapat kabar dari yang bersangkutan. Ada satu titik dimana aku juga ngerasa it hit my self-worth, jadi ngerasa apa gue senggak penting itu sampe ngga deserve your explanation? Apa semua hal yang udah diomongin sebelumnya waktu kita masih baik-baik aja, ngga ada artinya sama sekali, ngga membekas sama sekali?

Aku yakin tiap orang pasti ngerasain pengalaman yang berbeda, karena kekuatan hati orang kan beda-beda, dan juga tergantung dari seberapa intense hubungannya sama si ghoster. Ada orang yang mungkin butuh waktu cukup lama sampai akhirnya pulih lagi dan mungkin ada orang yang bisa move on dalam waktu yang cepat. Jangan main-main deh kalau udah berhubungan sama hati orang lainnya, that’s the delicate part of someone that you’re playing with.

DSCF4657

Di sisi si ghoster, disebuah artikel disebutkan, kalau mereka sebetulnya mengalami kebingungan. Ada yang nggak tau bagaimana cara menyampaikan apa yang mereka rasakan, tanpa menyakiti orang lainnya. Jadi, daripada kebingungan, mereka memutuskan untuk pergi. Tanpa harus memberitahukan alasannya, tanpa harus mengetahui perasaan lawan bicaranya, pilihan untuk pergi begitu saja dirasa lebih aman.

People who ghost are primarily focused on avoiding their own emotional discomfort and they aren’t thinking about how it makes the other person feel… The more it happens, either to themselves or their friends, the more people become desensitized to it, and the more likely they are to do it to someone else.

www.psychologytoday.com

What did I do to recover?

Social rejection activates the same pain pathways in the brain as physical pain. In fact, you can reduce the emotional pain of rejection with a pain medication like Tylenol.

www.psychologytoday.com

Sakit hati? Jelas. It did hurt and make me think a lot for a few months after it happened. Alasan utamanya sih karena aku masih cukup penasaran dengan apa yang sebetulnya terjadi. Karena nggak pernah terlintas dipikiranku, kalau seseorang, yang aku anggap baik dari sejak awal kami berkenalan, bisa melakukan hal semacam ini. Tapi ya seperti biasa, aku coba mengambil pelajaran dan hikmah dari pengalaman ini.

Like I always do. I (try to) pick up lessons from people who interact with me.

Pertama, aku berharap dan berusaha untuk nggak akan pernah melakukan hal tersebut kepada orang lain yang berinteraksi sama aku. Not under any circumstances and reasons. Aku tau betul gimana rasanya tiba-tiba ditinggal begitu aja tanpa dikasih penjelasan. I know the feeling of being ghosted, hurtful and feel disrespectful. Kesalahan dan kekurangan orang lain pun bukan suatu alasan yang bisa dibenarkan buat meninggalkan seseorang dengan cara ini. Ingat, nggak semua orang punya hati yang sama kuatnya dengan diri kita sendiri. Kita nggak tau seberapa rapuhnya hati yang setiap orang miliki dan nggak akan tau berapa lama waktu yang dibutuhkan supaya hati itu sembuh lagi.

Quote 2

Kedua, jangan pernah memberikan perlakuan spesial kepada seseorang, kalau memang kamu nggak berniat atau bermaksud untuk itu. Even if you have never met them in person before, but still there’s no acceptable reason to play ghosting to others. Setiap orang punya persepsi yang berbeda terhadap sesuatu, begitu juga dengan isi hati. Kalau kamu berniat untuk berteman, then don’t treat someone as if he/she means the world to you. Begitu juga sebaliknya. Please be clear with your intentions when you’re approching someone. don’t waste their heart and time.

Ketiga, always try to communicate your thoughts, especially when it’s related to others. Say it when you have personal issues that you have to finish. Say it when you don’t feel like being disturbed. Say it when you don’t want to have any more contact and you want to stop the communication. Just say everything. Because it will be so much better and relieved to hear something, even the slightest hint, even if it hurts, even it’s a harsh truth, rather than going through a long silence without knowing what’s actually going on. Berusaha mengkomunikasikan perasaan kamu juga penting banget disuatu hubungan, karena pasangan kamu bukan mind-reader yang bisa tau isi otak dan hati kamu dengan sendirinya.

Keempat, at the end of the day, I become more understanding of how my dear-self can cope with things like this. Nggak gampang, apalagi buat aku dan mungkin buat kalian yang when you care for someone then you care with all of your heart. It definitely took some time to process everything. A change in a habit is always hard at first, but by the time, it’s doable. Not seeing that particular name on the phone screen, finally felt okay. And maybe, you could even be surprised by how strong you are during this moment.

DSCF4583

Lagi-lagi, kita harus melihat semua hal dari dua sisi. Walaupun kita sebagai pihak yang ditinggalkan, tapi bukan berarti kita 100% benar dan tidak ada yang harus diperbaiki dari diri kita sendiri. Tetap introspeksi diri, sambil tetap fokus pada diri sendiri supaya bisa pulih dan merasa lebih baik lagi.

Mungkin ke depannya kita harus lebih berhati-hati ketika berkenalan dengan orang baru. Coba jaga ekspektasi jangan sampai terlalu tinggi, sampai ada obrolan dan action yang lebih serius. Walau dua hal tersebut pun sebetulnya nggak menjamin kita akan pasti terhindar dari kejadian seperti ini. Bisa juga coba dimention dari awal kepada lawan bicara kamu, kalau semisal di tengah perjalanan ada salah satu pihak yang ingin menyudahi hubungan, maka tolong dibicarakan baik-baik dulu sebelum pergi. Paling nggak itu menunjukkan kalau kita terbuka buat membahas masalah ini. Harapannya, lawan bicara kita bisa merasa lebih secure dan lebih terbuka dengan kita.

Semoga kita terhindar dari orang-orang yang bisa mengganggu ketenangan hati yaa, aamiin :”)

Footer

A Post-Breakup Story

Draft postingan ini termasuk yang cukup lama aku simpan di dalam folder. Sebenarnya agak ragu, apakah jadi di post atau nggak. Mainly, karena pembahasannya sangat personal. Postingan ter-personal yang pernah aku tulis, sejauh ini sih. Tapi akhirnya tetap aku lanjutkan untuk menyelesaikan dan untuk mem-posting tulisan ini, paling nggak untuk membantu supaya perasaan aku bisa lebih plong :’)

Dulu waktu masih kuliah, salah satu cita-citaku adalah ingin menikah maksimal diumur 25 tahun. Sahabat-sahabatku sampai membuat prediksi kalau aku lah yang akan menikah paling pertama di antara mereka dan prediksinya, aku akan menikah diumur… 23,5 tahun hahaha. Alasan kenapa aku punya mimpi seperti itu, simply karena aku suka melihat pasangan muda yang baru menikah bisa pergi liburan berdua, ibadah bareng, masih bisa nongkrong dan kumpul sama teman-teman, dan juga punya anak diumur yang masih muda. Intinya sih supaya masih bisa ‘pacaran’ tapi dengan status yang sudah halal hahaha. Di saat yang bersamaan itu, aku sedang menjalani hubungan dengan seseorang yang bisa dibilang sudah mulai menuju ke arah yang serius. This is him. Aku selalu berpikir bahwa ini dia orang yang akan jadi teman hidup aku. Nggak pernah terlintas sedikit pun kalau aku akan menikah dengan orang lain, selain dia. Tapi ternyata kenyataan memperlihatkan cerita yang 180 derajat berbeda dari yang aku harapkan. Hubungan kami berakhir setelah mencapai tahun kelima. Our relationship could not be saved anymore and a breakup was the only way to go.

img_2443

The shock was real because never ever crossed in my mind that we would be separated. Aku bahkan nggak tau harus berbuat apa selain menangis, menangis dan menangis. Susah banget rasanya untuk bisa menerima kenyataan itu. Denial. Itu yang aku lakukan. Denial adalah hal pertama yang biasanya dilakukan orang-orang waktu sedang menghadapi suatu kehilangan; meninggalnya orang tercinta, a farewell with your best mate in office, ataupun dalam hal yang aku alami ini, a breakup. Bagaimana pun bentuk kehilangannya, akan selalu ada pikiran-pikiran yang menolak untuk menerima kenyataan yang terjadi.. Aku constantly berpikir bagaimana caranya supaya bisa bareng-bareng lagi, karena the hope for getting back together was there for quite sometimes despite all the resentment I felt at that time. Aku masih mengirim dan menunggu text seperti biasanya, masih menanyakan pertanyaan-pertanyaan standar supaya tau apa yang sedang dia lakukan. Kalau dibandingkan dengan keadaan sebulan sebelum berpisah, komunikasi kami saat itu jauh lebih baik keadaannya. Dari situlah aku masih berkeyakinan bahwa “everything will be fine, ini cuma sementara aja, nggak akan lama putusnya, pada akhirnya aku akan tetap end-up sama dia”.

Ngga bohong, tapi pikiran-pikiran seperti: “kalau dia berubah pikiran, kita bisa balikan lagi”, “kalau masalah itu kita omongin baik-baik, gue bisa balikan sama dia” dan blablabla, memang sering sekali muncul diawal-awal putus. Punya ekspektasi semacam itu somehow memberikan harapan buat diri aku. Karena kalau ekspektasi tersebut menjadi kenyataan and I will live happily ever after. But life doesn’t always work that easy for you, dear. Ekspektasi yang tadinya bisa membuat aku punya harapan baru, nggak jarang setelah itu malah membuat aku takut karena “what if it didn’t turn out the way I expect it?“. Nggak bohong juga, kalau aku sempat mencoba dan menujukkan yang aku bisa to brighten up the remaining sparks that was still there. Mengirimkan foto lame jokes yang dulu pernah kami tertawakan bersama, berusaha membahas kegiatan yang dulu pernah kami lakukan bersama atau kirim screenshot dari chatting-an waktu awal pacaran. Berharap dengan begitu, rasa sayangnya bisa muncul dan ada kemungkinan untuk kembali bersama lagi. Nggak jarang juga, aku jadi suka berpikir di mana dan kapan mulai ada yang salah pada hubungan ini. Lalu mulai lagi membuat ekspektasi-ekspektasi and then I created my own scenarios of how this relationship could have been saved.

 Di saat yang bersamaan, banyak sekali perasaan yang ingin meluap keluar dari diri ini. Aku sadar betul kalau manusia ditakdirkan untuk memiliki perasaan dan merasakan apa yang mereka rasakan. Merasa senang ketika mendapat kebahagiaan. Merasa sedih ketika mendapatkan kesulitan. Jadi, kalau di saat grieving seperti itu tapi aku malah berusaha untuk kelihatan tegar, memendam dan melupakan semua perasaan yang muncul, nggak akan membantu sama sekali untuk merasa lebih baik. Karena itu berarti aku nggak memberikan kesempatan dan membiarkan diri aku merasakan apa yang semestinya aku rasakan pada saat mengalami hal yang menyedihkan. I just need to be human and do what human supposed to do when they encounter such event. Pada akhirnya aku biarkan semua perasaan itu keluar; rasa sedih, marah, benci, sakit hati, kecewa, rasa ditinggalkan, apapun itu. I embraced the pain to the core and I let myself drown in all of those emotions. Aku kasih waktu ke diri sendiri untuk menyendiri di kamar, menangis sejadi-jadinya sebanyak aku mau, mengumpat sekasar aku bisa, mengeluarkan semua amarah yang ada karena nggak terima dengan keadaan ini.

Terkadang, ada waktu-waktu dimana kejadian dari 5 tahun yang lalu tiba-tiba keputar dalam pikiran aku. Literally like I just hit the play button of ‘My Life The Movie’, unconsciously. Lagi di mobil, bengong melihat macet and all of a sudden I cried. Naik bis waktu berangkat kerja, sambil mendengarkan lagu yang suka dinyanyikan bersama, setelah itu mataku berkaca-kaca. Dengan sengaja pun, aku sering membiarkan diri aku menggali lagi memori yang dulu. Sengaja kubaca lagi semua chat kami di smartphone yang memang nggak pernah dan belum bisa aku hapus pada saat itu. Aku stalk semua social media-nya. Folder yang berisi foto-foto mulai dari tahun 2010 pun sudah tamat aku lihat ulang satu persatu. I am good at torturing and putting myself in pain by doing those things, for sure. Sahabat dan bahkan Mama meminta aku untuk berhenti mencari-cari hal yang berhubungan dengan dia. Tapi itu bukan cara yang aku terapkan ke diriku. Aku sengaja mendekati rasa sakitnya sampai akhirnya I get used to what I don’t want to see. Aku rasakan semua perasaan yang muncul sembari mencoba menyadari kalau memang hubungan itu sudah selesai.

Pada akhirnya aku lelah dan sudah ‘puas’ dengan apa yang aku lakukan. Aku berhenti menyuapi diri aku dengan ekspektasi-ekspektasi yang aku buat sendiri. Aku berhenti menggali masa lalu, yang tanpa disadari membuat aku nggak memberikan perhatian yang sama besarnya untuk hal-hal yang aku punya sekarang. Aku belajar untuk menerima keadaan lagi. Menerima bahwa memang jalan ini yang harus aku hadapi dan bukan malah mencoba-coba membuat skenario lain yang diluar kendaliku. Menerima bahwa mungkin memang dia bukan jodoh yang tepat buat aku. Menerima bahwa Tuhan pasti punya rencana yang jauh lebih baik daripada yang pernah aku pikirkan.

dscf5301

Memang nggak ada waktu yang baku untuk menentukan berapa lama yang diperlukan sampai seseorang benar-benar siap menerima kenyataan dan siap untuk menyudahi waktu berkabung, karena setiap orang punya timing-nya masing-masing After I am done with the mourning time and let all the emotions out, setelah itu aku (pikir) sudah siap untuk bangkit lagi dan mulai memasuki a new world of mine. Namun, memasuki dunia baru ternyata nggak semudah itu. Selain harus beradaptasi dengan status baru, dengan menjadi sendiri lagi berarti aku harus mencari sumber kebahagian lain. Karena jelas selama lima tahun terakhir, mantan pasangan adalah salah satu sumber kebahagiaanku yang utama. Makanya setelah berpisah, hal-hal seperti “mau ngapain gue pas weekend kalau nggak punya pacar gini?” atau “harus ajak siapa nih kalau mau pergi ke sana, nonton ini, makan itu…” sempat aku cemaskan. Kalau sekarang dipikir-pikir lagi, kenapa aku harus takut sampai ada pikiran seperti itu ya :’) Memang sulit awalnya untuk mencari dan menggantungkan kebahagian aku kepada hal lain. Tapi ternyata setelah dijalani sebenarnya nggak sesulit itu and in fact, I have been so busy either on weekdays or weekends, since the day I broke up!

 Sekarang aku lebih menggantungkan kebahagiaanku kepada hal-hal yang memang aku sukai. Traveling, masak dan menulis adalah hal-hal yang paling ampuh untuk mengembalikan mood aku supaya kembali normal dan ceria lagi. Alhamdulillah nya, beberapa minggu setelah putus, aku harus pergi ke Eropa selama 40 hari untuk ikut short course program dan sekaligus jalan-jalan. Jadi sewaktu menjelang dan sesudah putus, aku cukup sibuk karena finalized itinerary sama teman jalanku yang lagi kuliah di Groningen, aku juga (berusaha) baca-baca journal untuk persiapan belajar lagi setelah 3 tahun selesai kuliah, sibuk packing dan juga melengkapi barang bawaan. It gave me so much excitement which helped my mind to stay away for awhile from everything related to the breakup. Bohong kalau dibilang aku bisa langung benar-benar lupa dengan kejadian itu sewaktu aku di Eropa. Nggak jarang rasanya ingin sekali aku mengirimkan gambar dan menceritakan apa yang aku alami di sana, apa yang aku lihat dan apa yang aku pelajari di kelas. Karena aku sudah terbiasa menceritakan apapun dari hal yang penting sampai nggak penting sekali pun ke dia. Tapi sebisa mungkin aku tahan, buat melatih diri aku juga supaya mulai beradaptasi kalau dia bukan lagi orang pertama yang harusnya muncul dipikiran kalau aku mau menceritakan sesuatu. Di bagian ini lah aku sangat bersyukur karena punya sahabat-sahabat yang mau mendengarkan ceritaku tanpa melihat seberapa serius atau betapa nggak bermutunya pembahasan itu. Perlahan-lahan aku mulai bisa melepaskan diri dari ketergantunganku yang lalu itu. Di akhir Januari aku pulang dari Eropa, setelah itu sibuk mengerjakan tugas Research Proposal dan dua hari setelah tugas tersebut di-submit, aku pergi ke Bangkok dengan adik aku, yang memang sudah kami rencanakan dari pertengahan tahun 2015. “Enak banget jalan-jalan mulu, Vie”, tipikal komen dari orang-orang yang melihat postingan-ku saat sedang traveling, di social media hahaha. Karena quote “You are responsible for your own happiness” itu memang benar adanya. Jadi aku akan bertanggungjawab sama diri aku sendiri untuk bisa bahagia lagi dengan kebahagiaan yang bisa aku dapatkan dari mengerjakan hal-hal yang memang aku suka.

img_2364

Pelan-pelan, aku coba membuka diri lagi. Karena saat itu aku sedang tidak bekerja kantoran lagi, aku mulai mencari kegiatan yang sesuai dengan interest-ku. Aku mulai membuka diri lagi dengan dunia luar, ikut berkumpul lagi bersama teman-teman lama, berkenalan dengan orang baru, ikut organisasi atau perkumpulan positif. Aku nggak mengasosiasikan membuka diri dengan mencari pasangan baru, dengan alasan supaya cepat move on atau supaya nggak sedih lagi. Karena aku sendiri berpendapat kalau move on dan mempunyai pasangan baru adalah dua hal yang berbeda. Move on nggak harus ditandai dengan punya pasangan baru dan menurut aku, yang cepat-cepat punya pasangan baru pun belum tentu sudah move on. Pastinya ada segelintir orang yang menjalani hubungan baru dan sudah benar-benar bisa fokus dengan pasangannya tersebut tanpa melihat kembali ke cerita yang sudah lalu. Nah, yang harus dihindari adalah, kalau belum bisa sepenuhnya fokus dengan yang baru dan malah menjadikan pasangan yang baru sebagai pelarian. Sudah pasti akan jauh lebih baik untuk nggak menjalin hubungan baru kalau masih ada rasa yang mengganjal dengan mantan, entah itu rasa benci atau sayang. Karena kan hubungan baru bukan sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan kehebatan karena bisa cepat mendapatkan pengganti atau untuk memperlihatkan bahwa pasangan yang sekarang lebih baik dari yang sebelumnya. Kalau masih ada pikiran seperti itu, sama saja seperti menyakiti pasangan baru, bukan?

As clichè as it sounds, yang namanya jodoh itu memang nggak tau dengan siapa orangnya, dimana dan kapan ketemunya. Semakin kesini aku semakin banyak mendengar cerita bagaimana memang seorang jodoh itu bisa datang ke kehidupan kita secara tiba-tiba dan nggak bisa diduga. Aku pun jadi semakin percaya kalau memang orang yang tepat akan datang di waktu yang tepat, tidak akan datang lebih awal atau datang terlambat. Jadi, daripada pusing memikirkan kapan bertemu pasangan baru atau kapan nikah padahal temen-temen seangkatan sudah banyak yang nikah tahun ini (put your hands up class of 1991! :p), aku rasa yang paling penting di saat ini adalah berusaha untuk memperbaiki diri sendiri dan berusaha menjadi the best version of yourself.

Above all, dengan menjadi sendiri lagi, aku jadi bisa lebih ‘egois’ karena sementara ini praktis aku punya semua waktu dan rencana masa depan untuk diri aku, tanpa ada seseorang yang harus diikutsertakan di dalamnya. Nggak bohong kalau sempat ada perasaan sedih, karena rencana yang tadinya sudah disusun, termasuk di dalamnya adalah menikah, ternyata harus di-adjust lagi mengikuti keadaan. Alhamdulillah orangtua dan keluarga besar aku bukan tipe yang suka meneror dengan pertanyaan “kapan nikah?”. Dulu pertanyaan tersebut sempat sering terlontar karena memang aku sudah menjalani hubungan yang lama. Tapi setelah kami berpisah, pertanyaan itu nggak pernah muncul lagi. Life must go on and plan must be rearranged. Jadi aku list kembali hal-hal yang ingin aku lakukan dan capai, aku buat perencanaannya. Basically, just catch up on things I have always wanted to do. Aku ingin memperkaya diri dengan berbagai macam hal yang selalu ingin aku lakukan, sebelum nantinya aku terikat lagi dengan seseorang and I won’t have that luxury anymore to do whatever I want as my wish. Dengan fokus ke hal-hal tersebut, aku bisa semakin mengembangkan diri dan di saat yang bersamaan bisa menjauhkan pikiranku dari segala yang berhubungan dengan mantan pasangan.

Ditempatkan dikeadaan seperti ini, membuat aku belajar untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan menggantungkan harapan aku hanya kepada-Nya. Seperti layaknya orang yang baru tertimpa musibah, pada awalnya aku pun sempat mempertanyakan, kenapa harus seperti ini akhirnya, kenapa hubungan ini nggak bisa berakhir seperti yang aku harapkan. Tapi lagi-lagi aku harus belajar, belajar untuk berbaik sangka, belajar sabar. Karena aku yakin pasti ada maksud yang ingin Allah tunjukkan ke aku. Awalnya memang berat, sangat berat. Tapi sekarang aku sudah lebih bisa melihat apa ‘maksud’ dibalik kejadian ini dan pelajaran yang bisa aku ambil. I am sure He just wants to protect me from unpleasant things that might happen to me sooner or later.

Nggak pernah sekalipun terlintas dipikiran aku bahwa jadi jomblo lagi setelah menjalani hubungan yang selama itu adalah hal yang memalukan. Aku malah bersyukur karena ternyata masih dikasih kesempatan untuk menjadi sendiri lagi. Mungkin inilah waktunya untuk aku lebih mendekatkan diri kepada Allah, orangtua, teman-teman dan mungkin orang-orang baru yang akan masuk ke kehidupan aku. Waktu untuk lebih mengenal dan membenahi diri aku sendiri. Mungkin kalau aku nggak ditempatkan dikondisi seperti ini, aku akan melewatkan banyak kesempatan yang akan datang. Mungkin aku akan melewatkan kesempatan untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Melewatkan kesempatan untuk menjalani hal-hal yang aku impikan. Melewatkan banyak ilmu yang belum sempat aku pelajari untuk menjadi bekal berumahtangga. Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang bisa membuat diri aku lebih baik dari sebelumnya.

Sudah 10 bulan sejak kami putus and I am happy to say that I feel so much better right now! Surely, those five years has gone and I could never take that back. Tapi aku nggak merasa menyesal karena sudah menghabiskan banyak waktu untuk sebuah hubungan yang ternyata akhir ceritanya seperti ini. Bagaimanapun juga, banyak hal yang aku pelajari dan untuk hal-hal yang baik bisa terus aku ingat untuk nantinya dibawa ke hubungan berikutnya.

Whether it is through tears or laughter, you can always learn something from it, because nothing comes to you without giving any purpose.

angels_lang_leav